Sabtu, 24 Maret 2012

My Body is Not Delicious


My body is not delicious”, itu kelakar salah seorang kawan saat break di sesi diklat hari ini. Kami sama-sama tahu bahwa maksud dari kelakar kawan ini adalah “Saya sedang tidak enak badan.” Bicara sedang tidak enak badan, sebenarnya badan ini juga dalam kondisi yang tidak jauh beda daripada kondisi yang dikelakarkan kawan tadi.

Badan yang sedang tidak enak sebenarnya adalah sinyal yang diberikan oleh tubuh bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Kepala yang pusing, misalnya, bisa jadi adalah sinyal bahwa perut sedang bermasalah. Badan yang pegal-pegal, misalnya, bisa jadi adalah sinyal bahwa tubuh memerlukan waktu untuk beristirahat. Ibarat batere, ia perlu diisi ulang (recharge).

Sinyal-sinyal yang dirasakan bisa jadi adalah respon tubuh terhadap pengaruh-pengaruh fisik yang menimpanya. Bisa jadi, sinyal-sinyal itu juga berasal dari pengaruh-pengaruh psikis. Seseorang yang berada dalam kondisi stres, misalnya, bisa jadi perutnya terasa kembung, kepalanya pusing, kakinya pegal, dan seterusnya. Akibat dari stres juga bisa berdampak pada emosi. Seseorang yang mengalami stres seringkali uring-uringan, susah berkonsentrasi, dan bahkan cenderung memperlihatkan perilaku yang tidak bersahabat.

Kawan, tulisan ini mungkin jauh dari ranah ilmiah. Namun, kondisi-kondisi semacam itu sering kita alami. Masalahnya, seberapa responsif kita merespon sinyal-sinyal itu. Mengacuhkannya, atau memperlakukan jiwa dan raga ini dengan memberikan hak-haknya yang semestinya ia terima.

Jika bukan kita yang memperhatikan diri kita sendiri, siapa lagi?

Sabtu, 17 Maret 2012

Ucapan-ucapan Idul Fitri

"Dari Lampung pergi ke Kendari. Di Kota Kendari bertemu muallaf. Mumpung ini hari, hari fitri. Mohon dimaafkan segala salah dan khilaf"

"Makan ketupat lauknya teri. Ikan teri dipadu dengan gurami. Ini hari, hari Idul Fitri. Mohon dimaafkan kesalahan dan khilaf kami"

"Beli buku di Pasar Blauran. Beli muskhaf, juga bakmi. Ini hari, hari lebaran. Mari buka pintu maaf dan jalin silaturrahmi"

"Makan ketupan di hari lebaran. Paling enak pakai sayur santan. Dari lubuk hari yang paling dalam, mohon dimaafkan segala kesalahan"

Ketika Hasrat Materi Mengalahkan Nurani


Hitam dan putih. Itulah yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Hitam mewakili yang benar, putih mewakili yang salah.

Namun dalam perjalanan waktu, ada saja segelintir manusia, entah sengaja atau tidak, berusaha mengaburkan hitam dan putih itu. Jadilah hitam dan putih itu abu-abu. Yang abu-abu ini, tergantung kepentingannya, bisa dijadikan putih atau hitam. Sesuatu yang semula benar, dan sangat jelas kalau itu benar, karena dibuat abu-abu, jadilah ia salah. Sesuatu yang semula salah, dan sangat jelas kalau itu salah, karena dibuat abu-abu, jadilah ia benar. 

Ya, karena dibuat-buat, yang dianggap salah tetaplah benar dan yang dianggap benar tetaplah salah. Anehnya, mereka yang membuat-buat ini merasa nyaman dengan praktik yang mereka lakukan. Merasa nyaman tanpa takut terhadap hukum alam. Jelas merasa nyaman karena mereka menikmati materi dari praktik membenar-benarkan yang salah tadi. 

Uh, lagi-lagi materi. Ujung-ujungnya duit!
Jelas sudah, hasrat materi telah mengalahkan nurani. Astaghfirulloh.

Penting dan Merasa Penting

Sang bijak berkata, "Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik". Kalau saya boleh menambahkan, "Lebih penting lagi menjadi orang penting yang baik".

Orang penting yang baik adalah orang yang tidak merasa kalau dirinya penting. Ia merasa bahwa keberadaannya, sumbangan pemikirannya, apa yang diperbuatnya, dll-nya adalah keberadaan, sumbangan pemikiran, perbuatan, dll yang biasa saja. Biasa saja. Tidak lebih karena itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang musti ia tanggung sesuai dengan kapasitasnya. Jadi, di manapun ia berada, ia tidak merasa menjadi orang penting, meskipun orang-orang di sekitarnya mementingkannya. "Aku  hanyalah orang biasa", itu yang selalu tertanam di dalam benaknya. Lain halnya ketika ia melihat orang lain. Orang lain, dari penglihatan orang penting yang baik, adalah penting, siapapun adan apapun kapasitasnya.

Berbeda dengan orang yang merasa dirinya penting. Orang yang merasa dirinya penting, walaupun  keberadaannya memang penting, akan berharap, walaupun kecil, orang-orang di sekitarnya mementingkannya. Meskipun kecil, harapan agar dipentingkan orang lain ini bisa menjadi sumber kekecewaan. Ya, kalau dipentingkan, kalau tidak? Dalam pandangan orang yang merasa penting, orang lain tidaklah penting. Tidak penting karena hanya dirinyalah yang penting. Akibatnya, ia cenderung menganggap remeh orang lain. Padahal, dengan meremehkan orang lain, tanpa sadar, ia sudah menempatkan dirinya dalam posisi yang remeh dalam pandangan orang lain.

Jadi, Anda berada di wilayah mana, penting atau merasa penting?

Hanyalah Cinta - Anggun yang Memang Anggun

Mendengarkan lagu terbaru Anggun, "Hanyalah Cinta" pada awalnya saya tidak menanggapnya sebagai sesuatu yang spesial kecuali karakter suara Anggun yang memang "Anggun" banget, suara khas Anggun. Namun beberapa kali mendengarkan lewat Winamp didukung dengan MiniLyrics --yang karenanya lirik bisa muncul dilayar layaknya karaoke--, saya baru "ngeh" kalau lirik lagu ini memiliki makna yang dalam, makna yang sufistik.

Si pencipta lirik sadar betul bahwa semua yang bersifat kebendaan, kekinian, dan keduaniawian akan pudar, akan hilang, tidak untuk selamanya, hanya sementara saja. Yang kita cari, kita mau, selalu kita tunggu, yang kita nanti, semestinya adalah cinta yang abadi, cinta ilahi. Dialah sumber kebahagiaan abadi, kebahagiaan hakiki. Si pencipta juga menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan. Ada ruang dan waktu yang membatasinya. Selalu ada pertempuran antara kekuatan hitam dan kekuatan putih dalam diri manusia. Pertempuran dan persaingan untuk "memiliki" jiwa dan raga kita. Tinggal manusianya, mau memihak yang hitam atau memihak yang putih. Untuk itu, senyampang waktu masih berdetak, proses mencari arti hidup harus terus berlangsung. Yang bermakna kita pertahankan dan perjuangkan. Yang sia-sia kita tinggalkan.
Coba kita simak lirik "Hanyalah Cinta" di bawah ini"

Hanyalah Cinta - Anggun

semua yang telah aku dapat
indah dan gemerlap
satu hari kan pudar
dan sinarnya akan hilang

sesuatu yang telah aku raih
di dalam hidup ini
tak untuk selamanya
ini semua sementara

reff:
yang aku cari hanyalah cinta
hanya cinta yang tak terganti
yang aku mau hanyalah cinta
hanyalah cinta yang ku beri

yang selalu ku tunggu hanyalah cinta
hanya cinta yang tak terganti
yang aku nanti hanyalah cinta
hanyalah cinta yang abadi

mencari artinya hidup ini
detak waktu masih ada
ada yang paling bemakna
apa yang kan sia-sia

Dunia hiburan memilik magnet yang luar biasa kuat untuk orang-orang mengikuti trend yang dihembuskannya. Dibutuhakan sebuah keberanian, memang. Sesuatu yang idealis seringkali tidak laku di pasar dunia hiburan. Sebuah tantangan bagi mereka yang berkecimpung di dunia hiburan. Berani terima tantangan?

Kebenaran Perlu Kearifan

Suatu hari saya berada di ruang makan. Untuk makan, tentunya. Makan nasi di siang hari. Sengaja saya tidak menggunakan istilah makan siang. Ada kawan yang protes pada saya, "Siang koq dimakan?" Setelah ambil ini, ambil itu, saya memilih tempat duduk.

Di hadapan saya duduk seorang kawan. Belum sesendok nasipun yang saya masukkan ke dalam mulut, tiba-tiba kawan yang satu ini bertanya, "Anda tadi ikut sholat berjamaah?" Karena memang saya tidak ikut berjamaah, saya jawab, "Tidak". "Kenapa?" sambung saya sedikit heran dengan pertanyaannya. "Sholat jamaah adalah anjuran Rasululloh. Nilainya 26 derajat lebih tinggi daripada sholat sendiri," mulailah kawan ini berceramah. Saya hanya diam sembari memasukkan nasi yang sedari tadi sudah siap dimasukkan ke mulut. "Di samping nilainya yang lebih tinggi, sholat berjamaah adalah media bagi kita untuk silaturahim, saling tukar ide, pengalaman, dan bahkan memecahkan masalah yang sedang kita hadapi", sambungnya berceramah. Saya masih diam saja, tidak berkomentar, sambil menikmati makan nasi di siang itu. Walaupun agak terganggu juga sih kenikmatannya. Tanpa memperhatikan saya yang tidak seberapa memperhatikannya, dia kembali berceramah, "Sholat berjamaah seharusnya rutin kita kerjakan. Sesuatu yang rutin atau biasa kita lakukan lama-lama berkembang menjadi kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan yang kita biasakan akan menjadi karakter kita. Bayangkan kalau sesuatu itu adalah sholat berjamaah. Di samping dimensi akhirat, dampak sosial sholat berjamaah sungguh luar biasa." Saya yang semula dalam tahap kurang memperhatikan, setelah ceramahnya yang terakhir ini, akhirnya sudah sampai pada tahap terganggu. Orang ini ngomong apa, sih? Saya sedang makan! Tapi, untunglah datang teman saya yang lain menyelamatkan perkawanan saya dengan kawan tukang ceramah ini. Sekarang, obyek ceramah digantikan teman saya yang baru datang ini.

Sahabat, pelajaran apa yang bisa kita tangkap dari peristiwa ini? Ternyata, kebenaran tidak selalu baik. Diperlukan kearifan untuk menyampaikan kebenaran. Semoga bermanfaat :-)